Jumat, 22 Mei 2009

Peran Ulama

Mengembalikan Fungsi Ulama Sebagai Pendidik Umat

20-August-2008

Buletin No. 226

“...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Asy-Syu’ara [26]: 197).

Ulama berasal dari kata ‘alima yang me-ngandung arti mengetahui. Ulama adalah bentuk jamak dari perkataan ‘alim. Secara bahasa, ulama berarti orang yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya.

Kata “ulama” secara eksplisit disebut dua kali dalam Al-Quran. Pertama, dalam QS Asy-Syu’ara [26] ayat 197 yang berbunyi, “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” Ayat ini, meskipun berkaitan dengan Bani Israil, menunjukkan bahwa seseorang dikatakan sebagai ulama apabila memiliki keluasan dan kedalaman ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wahyu dan sunah Rasul-Nya, tempat orang bertanya dan meminta fatwa mengenai permasalah yang berhubungan dengan agama.

Kedua, disebut dalam QS Fathir [35] ayat 28, “...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Ayat ini menggambarkan secara jelas bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki rasa khaasysyah (takut dan cinta) yang tinggi kepada Allah Swt juga senantiasa memelihara hubungan dengan-Nya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, “Ulama itu adalah panutan dan pemimpin umat. Barangsiapa yang senantiasa bergaul dengannya, maka akan bertambah kebaikannya,” (HR. Jama’ah). Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda, “Ulama itu adalah orang-orang yang dipercaya oleh para Rasul, selama tidak mukhallathah (dikendalikan) oleh penguasa yang zalim, dan selama tidak menjadikan dunia sebagai tumpuan hidupnya. Apabila mereka dikendalikan para penguasa yang dzalim, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat terhadap Rasul. Karena itu, jauhilah mereka itu,” (HR. Aqbali dari Anas).

Menurut Said Hawwa, dengan mengutip pendapat Ibn Mas’ud, ulama bukanlah orang yang semata-mata mempunyai keluasan dan kedalaman ilmu, akan tetapi yang lebih esensial adalah tingkat ketakwaannya kepada Allah Swt. Perpaduan antara ilmu dan takwa itulah yang akan mengantarkannya pada derajat ahli waris para nabi.

Karena itu, Rasulullah Saw menganalogikan peran dan fungsi ulama seperti bintang yang menjadi petunjuk dalam kegelapan. Sabda Rasulullah Saw, “Gambaran ulama di muka bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Apabila bintang-bintang itu terbenam, maka dikhawatirkan orang-orang akan tersesat jalannya,” (HR. Imam Ahmad).

Ulama dan Kekuasaan
Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan peran yang mahapenting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi (waratsatul anbiya’). Yakni, pelanjut peran dan fungsi kenabian sebagai pembimbing masyarakat ke jalan yang diridhai Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS al-Jumu’ah [62]: 2).

Secara umum, peran dan fungsi ulama biasa disebut dengan amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rincian tugas ulama adalah: pertama, mendidik umat di bidang agama dan lainnya. Kedua, melakukan kontrol terhadap masyarakat. Ketiga, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat. Keempat, menjadi agen perubahan sosial. Semua tugas ini melekat pada diri tiap ulama dan dijalankan sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 1999).

Meskipun fungsi utama ulama sebagai pendidik umat, namun tidak ada larangan agama bagi ulama untuk terlibat aktif dalam kekuasaan. Nabi Muhammad adalah rasul, tapi beliau juga kepala negara. Demikian pula Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keluasaan dan kedalaman ilmu agama keempat terdekat Nabi ini tidak perlu diragukan. Begitu juga dengan akhlak mereka. Mereka adalah ulama sekaligus pemimpin politik.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi ulama untuk terjun ke dalam politik dan kekuasaan. Namun pertanyaan selanjutnya, akankah ulama tetap konsisten dengan tugas-tugas mereka ketika terjun ke dalam arena politik dan menjadi penguasa? Atau bisakah ulama menjaga independensinya dengan dengan tidak mengeluarkan fatwa atau pendapat yang berseberangan dengan ajaran Islam?

Himbauan Al-Ghazali
Imam al-Ghazali hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah. Sebuah masa di mana penguasa berusaha meng­kop­tasi ulama untuk melanggengkan kekua­saan dan mendukung kebijakan penguasa. Maka tak heran jika kemudian Imam al-Ghazali menyatakan bahwa tidak pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan diri kepada penguasa. Ulama yang bersentuhan dengan dinding kekuasaan dikategorikan oleh Sang Hujjatul Islam seba­gai ulama su’ (buruk).

Ulama-ulama masa lalu, setelah berakhirnya era khalifatur rasyidun, cenderung mengambil sikap oposisi terhadap penguasa, seperti sikap yang ditunjukkan oleh Abu Hanifah. Abu Hanifah pernah ditawarkan oleh khalifah Abu Ja’far Al-Manshur untuk menduduki jabatan hakim agung. Namun Abu Hanifah bersikeras menolak jabatan tersebut. Tak ayal, penolakan ini membuat khalifah marah dan berujung pada penjara. Abu Hanifah mendekam dalam penjara hingga ajal menjemputnya (Ensiklopedi Islam, 1997: 157).

Menurut Ali Yafie, para ulama masa lalu cenderung mengambil posisi sebagai oposan saat berhadapan dengan kekuasaan karena adanya ketidakseimbangan orientasi fungsi pemerintahan antara harasat ad-din (pemeliharaan kepentingan agama) dan fungsi siasat ad-dunnya (kebijakan penataan urusan pemerintahan). Penguasa lebih menitikberatkan orientasinya pada siasat ad-dunya.

Namun, saat ini, sebagian ulama berlomba-lomba untuk masuk dalam arena politik dan kekuasaan. Hal ini sah-sah saja karena, sebagai warga negara pada umumnya, ulama juga mempunyai kesempatan untuk itu. Di sisi lain, agama juga tidak melarang. Hanya saja, tugas dan fungsi ulama jangan ditinggalkan dan bisa menjaga independensinya sehingga tidak terkooptasi oleh kepentingan penguasa dan hanya menjadi legitimisator kepentingan kekuasaan.

Jika kita berkaca pada pemilu tahun 1999 dan 2004, masuknya ulama dalam politik (partai) cenderung membawa efek negatif. Isu-isu agama, dalam batas-batas tertentu, hanya sekadar dijadikan alat untuk melegitimasi aktivitas politik. Selain itu, mereka cenderung terjebak dalam kepentingan sesaat dan mengambil langkah-langkah pragmatis. Para ulama yang berjuang di jalur politik kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan partainya di arena pemilu.

Di sisi lain, masuknya ulama dalam salah satu partai, semakin mengkristalkan pengelompokan di tubuh umat. Umat terpecah-belah menurut afiliasi ulamanya. Yang lebih menyedihkan, bukannya memberi teladan bagaimana menjaga dan merawat ukhuwah, para ulama malah mempertontonkan sesuatu yang tidak pantas (perpecahan). Sejatinya, ulama yang masuk dalam politik bisa memberi contoh bagaimana berpolitik yang islami. Namun, hal yang ditunggu-tunggu itu sampai saat ini belum tampak.

Oleh karena itu, alangkah bijaksananya jika para ulama kembali ke “khittah” mereka sebagai pendidik umat. Karena, disadari atau tidak, saat masuk dalam kancah politik, ulama sering mengabaikan fungsinya sebagai pendidik umat. Dengan meninggalkan politik praktis, mereka lebih banyak mempunyai waktu untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat seperti perbaikan pendidikan dan penyebaran dakwah sehingga umat Islam menjadi umat yang maju.
Keturpurukan dan keterbelakangan umat Islam haruslah dijadikan fokus utama para ulama.

Jika tidak, siapa lagi yang memikirkan umat. Oleh sebab itu, sebaiknya para ulama berada di luar pagar kekuasan agar mereka konsisten dengan fungsinya sebagai pendidik umat, penjaga moral, dan alat kontrol terhadap kekuasaan. Sebagai pewaris Nabi, para ulama semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, berwatak sosial, serta menjadi suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lamu bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar